Salah satu kota di Indonesia yang memiliki masalah paling serius dengan sampah adalah kota
Bandung. Berbeda dengan satu abad silam yang menempatkan kota Bandung sebagai Paris van Java yang sejuk dan nyaman, kini selain diliputi oleh persoalan kemacetan lalu lintas di seluruh kota yang parah kota ini dililit masalah sampah. Produksi sampah dari warga kota terus menumpuh hingga 550.000
meter kubik yang tidak terangkut karena warga rata- rata menghasilkan sampah sekitar 7.500 meter
kubik per hari. Praktis, tidak ada satu pun ruang publik yang terlepas dari sampah. Masalah
pengangkutannya menjadi persoalan tersendiri.
Bandung. Berbeda dengan satu abad silam yang menempatkan kota Bandung sebagai Paris van Java yang sejuk dan nyaman, kini selain diliputi oleh persoalan kemacetan lalu lintas di seluruh kota yang parah kota ini dililit masalah sampah. Produksi sampah dari warga kota terus menumpuh hingga 550.000
meter kubik yang tidak terangkut karena warga rata- rata menghasilkan sampah sekitar 7.500 meter
kubik per hari. Praktis, tidak ada satu pun ruang publik yang terlepas dari sampah. Masalah
pengangkutannya menjadi persoalan tersendiri.
Masalah sampah di Bandung bahkan sempat mengakibatkan presiden SBY gusar. Ketika
mengikuti lomba maraton di lapangan Tegalega, awal tahun 2006, SBY bersama rombongan menteri
benar- benar ikut merasakan betapa rumitnya masalah sampah di kota ini. SBY bahkan sempat
menyampaikan ultimatum kepada Walikota Dada Rosada. Selain mengutus Menteri Negara Lingkungan
Hidup untuk menangani sampah secara terpadu, dia mengultimatum walikota agar dalam kunjungan
selanjutnya pada bulan Juni 2006, sampah di Bandung sudah dapat ditangani.
mengikuti lomba maraton di lapangan Tegalega, awal tahun 2006, SBY bersama rombongan menteri
benar- benar ikut merasakan betapa rumitnya masalah sampah di kota ini. SBY bahkan sempat
menyampaikan ultimatum kepada Walikota Dada Rosada. Selain mengutus Menteri Negara Lingkungan
Hidup untuk menangani sampah secara terpadu, dia mengultimatum walikota agar dalam kunjungan
selanjutnya pada bulan Juni 2006, sampah di Bandung sudah dapat ditangani.
Tetapi persoalan sampah di Bandung memang tidak sederhana. Warga sudah telanjur memiliki
perilaku yang skeptis terkait sampah. Tidak ada insentif apapun untuk mengurangi produksi sampah.
Kecuali itu, penanganan sampah sejauh ini selalu menggunakan pendekatan berupa open dumping,
sampah dikumpulkan ke TPS (Tempat Pembuangan Sementara) untuk kemudian ditumpuk hingga
hancur sendiri di TPA (Tempat Pembuangan Akhir). Masalahnya adalah bahwa pendekatan penanganan
dengan cara seperti ini sudah tidak memadai lagi dengan adanya volume sampah yang dari tahun ke tahun terus meningkat. Prediksi kasar menunjukkan bahwa dengan cara penanganan seperti ini, jika seluruh kawasan Bandung Raya (kota Bandung, Kabupaten Bandung, kota Administratif Cimahi,
Kabupaten Garut, Kabupaten Sumedang) memproduksi sampah, total volumenya mencapai 4,5 juta ton
kubik per hari. Dengan menggunakan cara open dumping, diperkirakan bahwa dalam waktu 25 tahun
diperlukan 100 hektare tanah sebagai lokasi TPA.
perilaku yang skeptis terkait sampah. Tidak ada insentif apapun untuk mengurangi produksi sampah.
Kecuali itu, penanganan sampah sejauh ini selalu menggunakan pendekatan berupa open dumping,
sampah dikumpulkan ke TPS (Tempat Pembuangan Sementara) untuk kemudian ditumpuk hingga
hancur sendiri di TPA (Tempat Pembuangan Akhir). Masalahnya adalah bahwa pendekatan penanganan
dengan cara seperti ini sudah tidak memadai lagi dengan adanya volume sampah yang dari tahun ke tahun terus meningkat. Prediksi kasar menunjukkan bahwa dengan cara penanganan seperti ini, jika seluruh kawasan Bandung Raya (kota Bandung, Kabupaten Bandung, kota Administratif Cimahi,
Kabupaten Garut, Kabupaten Sumedang) memproduksi sampah, total volumenya mencapai 4,5 juta ton
kubik per hari. Dengan menggunakan cara open dumping, diperkirakan bahwa dalam waktu 25 tahun
diperlukan 100 hektare tanah sebagai lokasi TPA.
Sementara itu, konflik mengenai masalah sampah di kota Bandung juga sudah menelan korban
jiwa di kampung Leuwigajah. Pada tanggal 21 Februari 2005, TPA Leuwigajah yang memiliki luas area
mencapai 23,5 hektare yang penuh dengan sampah hingga ketinggian 35 meter setelah hujan deras
tiba- tiba runtuh dan menimpa permukiman penduduk di bawahnya. Kampung Leuwigajah dan Batujajar
lenyap. Sedikitnya ada 143 warga dua desa tersebut yang tewas di bawah timbunan sampah di TPA tersebut. Kunjungan Wapres waktu itu juga memicu demonstrasi besar- besaran yang menolak
penggunaan TPA lebih lanjut.
Penanganan sampah dengan penimbunan juga menimbulkan masalah tersendiri apabila
mekanisme pengangkutannya juga bermasalah. Perusahaan Daerah (PD) Kebersihan sudah memiliki
armada 70 buah truk kuning yang bekerja praktis tanpa henti. Sebagian pengusaha dan masyarakat juga
menyumbang secara sukarela dengan menyediakan 20 truk sampah secara swadaya. Dalam beberapa
kegiatan penting, Kodam III Siliwangi juga seringkali diminta untuk ikut mengangkut sampah ke TPA.
Tetapi tampaknya semua usaha itu belum berhasil menangani masalah sampah di Bandung dengan
benar. Gagasan untuk menyediakan teknologi yang lebih baik berupa incinerator untuk menghancurkan
sampah juga masih terkendala karena soal kekurangan dana dan karena persoalan birokrasi.
Untuk menyediakan TPA baru atau memperluas TPA di kawasan yang selama ini sudah
disepakati, pemerintah kota Bandung menghadapi tantangan yang serius. Kendatipun upaya komunikasi
politik antara kota Bandung dengan daerah sekitarnya sudah sering dilakukan, tidak ada jaminan bahwa
kesepakatan dapat terlaksana. Pada bulan Mei 2006, misalnya, sejumlah warga memprotes agar
kawasan TPA Pasirbajing di Kabupaten Garut ditutup dan tidak memperbolehkan lagi lingkungan
sekitarnya sebagai tempat pembuangan akhir sampah dari daerah- daerah lain. Pasirbajing hanya
mampu menerima 200 meter kubik sampah setiap harinya dengan armada truk dari PD Kebersihan
sebanyak 22 buah. Tetapi dalam praktik sampah terus menggunung dan kemudian meluas ke kawasan
permukiman warga.
disepakati, pemerintah kota Bandung menghadapi tantangan yang serius. Kendatipun upaya komunikasi
politik antara kota Bandung dengan daerah sekitarnya sudah sering dilakukan, tidak ada jaminan bahwa
kesepakatan dapat terlaksana. Pada bulan Mei 2006, misalnya, sejumlah warga memprotes agar
kawasan TPA Pasirbajing di Kabupaten Garut ditutup dan tidak memperbolehkan lagi lingkungan
sekitarnya sebagai tempat pembuangan akhir sampah dari daerah- daerah lain. Pasirbajing hanya
mampu menerima 200 meter kubik sampah setiap harinya dengan armada truk dari PD Kebersihan
sebanyak 22 buah. Tetapi dalam praktik sampah terus menggunung dan kemudian meluas ke kawasan
permukiman warga.
*****
0 komentar:
Post a Comment