Deddy Mizwar Bawakan Puisi Gus Mus dan Taufiq Ismail di Munas ke-4 PKS

Wakil Gubernur Jawa Barat Deddy Mizwar membacakan puisi pada Munas ke-4 PKS.
DEPOK (14/9) -- Wakil Gubernur Jawa Barat Deddy Mizwar membacakan puisi di depan 1.200 peserta Musyawarah Nasional (Munas) PKS ke-4 di Hotel Bumi Wiyata, Jawa Barat.

Deddy berujar sebenarnya ia sudah lupa berakting. Namun karena ia diminta oleh Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan maka aktor kawakan ini menyanggupinya. "Saya ini makmum, beliau yang imam," ujarnya.

Deddy membacakan tiga puisi. Yang pertama Deddy membacakan puisi karya tokoh Nahdlatul Ulama (NU) KH Mustofa Bisri atau yang akrab disapa Gus Mus berjudul "Rasanya, Puisi Kemerdekaan".

Bagian kedua, Deddy membacakan puisi karya Taufiq Ismail yang ditulis tahun 1966 yang berjudul "Memang Selalu Demikian, Hadi". Dalam beberapa bagian, Deddy melakukan improvisasi mengganti kata Hadi dengan beberapa nama petinggi PKS seperti Presiden PKS Sohibul Iman, mantan Presiden PKS Anis Matta dan Ahmad Heryawan.Puisi ketiga yang dibawakan Deddy juga dari Taufiq Ismail yang ditulis tahun 1982 berjudul, "Membaca Tanda-Tanda".




Berikut Puisi-puisi yang dibacakan Deddy Mizwar dalam pembukaan Munas ke-4 PKS.

Rasanya, Puisi Kemerdekaan
Karya KH Mustofa Bisri

Rasanya...... Baru kemarin Bung Karno dan Bung Hatta atas nama kita menyiarkan dengan seksama Kemerdekaan kita di hadapan dunia.

Rasanya....... Baru kemarin, padahal sudah tujuh puluh tahun lamanya.

Pelaku-pelaku sejarah yang nista dan mulia Sudah banyak yang tiada. Penerus-penerusnya sudah banyak yang berkuasa atau berusaha. Tokoh-tokoh pujaan maupun cercaan bangsa sudah banyak yang turun tahta. Rasanya.... Baru kemarin, padahal sudah lebih setengah abad lamanya.

Petinggi-petinggi yang dulu suka korupsi Sudah banyak yang meneriakkan reformasi.

Tanpa merasa risi, Rasanya baru kemarin rakyat yang selama ini terdaulat sudah semakin pintar mendaulat. Pejabat yang tak kunjung merakyat pun terus dihujat dan dilaknat.

Rasanya baru kemarin. Padahal sudah tujuh puluh tahun lamanya. Pembangunan jiwa masih tak kunjung tersentuh. Padahal pembangunan badan yang kemarin dibangga-banggakan sudah mulai runtuh. Daging yang selama ini terus dimanjakan kini sudah mulai kalap mengerikan.

Ruh dan jiwa sudah semakin tak ada harganya. Masyarakat yang kemarin diam-diam menyaksikan para penguasa berlaku sewenang-wenang kini sudah pandai menirukan. Rasanya... Baru kemarin. Padahal sudah lebih setengah abad kita merdeka.

Pahlawan-pahlawan idola bangsa, seperti Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol, dan Sisingamangraja sudah dikalahkan oleh Sinchan, Baja Hitam dan Kura-kura Ninja dan artis idola.

Rasanya Baru kemarin. Tokoh-tokoh angkatan empatlima sudah banyak yang koma. Tokoh-tokoh angkatan enamenam sudah banyak yang terbenam. Tokoh-tokoh angkatan selanjutnya sudah banyak yang tak jelas maunya.

Rasanya... Baru kemarin. Negeri zamrud khatulistiwaku yang manis. Sudah terbakar nyaris habis. Dilalap krisis dan anarkis. Mereka yang kemarin menikmati pembangunan sudah banyak yang bersembunyi meninggalkan beban.

Mereka yang kemarin mencuri kekayaan negeri sudah meninggalkan utang dan lari mencari selamat sendiri. Mereka yang kemarin sudah terbiasa mendapat kemudahan banyak yang tak rela sendiri kesulitan.

Rasanya baru kemarin. Ternyata sudah tujuh puluh tahun kita Merdeka. Ingin rasanya aku sekali menguak angkasa dengan pekik yang lebih perkasa: Merdeka!!!!!


Memang Selalu Demikian, Hadi
Karya Taufiq Ismail

Setiap perjuangan selalu melahirkan Sejumlah pengkhianat dan para penjilat Jangan kau gusar, Hadi

Setiap perjuangan selalu menghadapkan kita Pada kaum yang bimbang menghadapi gelombang Jangan kau kecewa, Hadi

Setiap perjuangan yang akan menang Selalu mendatangkan pahlawan jadi-jadian Dan para jagoan kesiangan

Memang demikianlah halnya, Hadi. 

 

Membaca Tanda-Tanda
Karya Taufiq Ismail

Ada sesuatu yang rasanya mulai lepas
dari tangan
dan meluncur lewat sela-sela jari kita

Ada sesuatu yang mulanya
tak begitu jelas
tapi kini kita mulai merindukannya

Kita saksikan udara
abu-abu warnanya
Kita saksikan air danau
yang semakin surut jadinya
Burung-burung kecil
tak lagi berkicau pagi hari

Hutan      kehilangan ranting
Ranting    kehilangan daun
Daun       kehilangan dahan
Dahan      kehilangan hutan

Kita saksikan zat asam
didesak asam arang
dan karbon dioksid itu
menggilas paru-paru

Kita saksikan
Gunung   memompa abu
Abu      membawa batu
Batu     membawa lindu
Lindu    membawa longsor
Longsor  membawa air
Air      membawa banjir
Banjir   membawa air

airmata

Kita telah saksikan seribu tanda-tanda
Bisakah kita membaca tanda-tanda?

Allah
Kami telah membaca gempa
Kami telah disapu banjir
Kami telah dihalau api dan hama
Kami telah dihujani abu dan batu

Allah
Ampuni dosa-dosa kami

Beri kami kearifan membaca
Seribu tanda-tanda

Karena ada sesuatu yang rasanya
mulai lepas dari tangan
dan meluncur lewat sela-sela jari

Karena ada sesuatu yang mulanya
tak begitu jelas
tapi kini kami
mulai
merindukannya.
Share on Google Plus

About Fathi Nashrullah

    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar:

Post a Comment